Selasa, September 08, 2009

Josaphat R. Ranuadmadja (Yosef)

Si Pemberes di Tengah Duka
Perias mayat harus memiliki jiwa seni, panggilan jiwa, dan tidak penakut.

Lutfi Yusniar dan Budi Supriyanto

Merias pengantin, selebriti, atau orang yang hendak merayakan sesuatu, itu hal biasa. Namun merias mayat, itu luar biasa. Bayangkan saja, ia mesti berkutat mendandani mayat yang, boleh jadi, tidak keruan rupanya akibat penyakit yang diderita atau kecelakaan yang menimpa. Tak heran bila cuma sedikit yang menjalani profesi ini. Padahal, penghasilannya tidak sedikit.

Sudah tentu, perias mayat tak melulu bermodalkan keberanian. Ia juga mesti memiliki jiwa seni dan panggilan jiwa untuk menekuni profesi ini. Karena inti dari pekerjaan merias adalah membuat obyek riasannya menjadi lebih indah, jiwa seni menjadi hal yang penting. Pasalnya, wajah setiap mayat memiliki kontur berbeda-beda. Nah, jiwa seni inilah yang bakal menuntun si perias dalam memoles wajah mayat agar tampak berseri-seri atau tersenyum. Dengan demikian, keluarga yang ditinggalkan tidak terlampau sedih.





Mungkin yang khusus adalah tempatnya. Sebab, tak sembarang tempat menyediakan fasilitas merawat mayat, mulai dari memandikan, merapikan semua organ tubuh jika keadaan tubuhnya rusak, hingga mendandani mayat tersebut supaya tampil layaknya ketika ia masih hidup. �Kami jamin pihak keluarga yang ditinggalkan akan puas,� ujar Rantje Langkun, Manajer Yayasan Pelayanan Pemakaman (YPP) St. Carolus. Fasilitas salon kecantikan �kematian� ini hanya bisa ditemui di rumah-rumah duka, misalnya, rumah duka RS St. Carolus di Salemba, Jakarta Pusat, dan RS Atmajaya di Pluit, Jakarta Utara.

Meskipun tugas intinya adalah merias, kata Daniel Rusmondo, satu dari lima orang perias mayat di rumah duka St. Carolus, �Tapi ada beberapa rambu yang mesti diperhatikan ketika akan merias mayat.� Pertama, sang perias harus memakai baju khusus seperti baju dokter, kaus tangan, sepatu karet, dan penutup mulut. Ini untuk menghindari bahaya infeksi atau tertular penyakit yang ditimbulkan dari mayat. Misalnya, mayat yang terkena penyakit kencing manis biasanya kondisinya mudah membusuk, kulitnya mudah terkelupas, dan mengeluarkan cairan dengan bau yang tak sedap.

Penjelasan Daniel tersebut diamini Maria Magdalena Lena Mulyana (Lena), perias mayat dari rumah duka Atmajaya.
Selanjutnya si perias dengan dibantu staf, biasanya tiga orang, mempersiapkan peralatan mandi seperti sabun, sampo, wash lap, dan handuk. Setelah kondisi mayat bersih (baik dalam maupun luar tubuh), mayat diberi pengawet formalin agar tidak cepat busuk dan kulit tidak kisut.

Maka, dimulailah ritual merias: pemberian alas bedak (foundation), bedak, memperindah alis, hingga lipstik. Semuanya membutuhkan waktu sekitar satu jam. Agar wajah obyek tidak tampak pucat, terlebih dahulu dibaluri ramuan dempul seperti lilin buatan Switzerland. Bahan ini bisa tersamar dengan warna kulit. �Saya tinggal memoleskan foundation dan bedak, maka mayat akan tampak segar,� ujar Lena.

MASIH LANGKA
Boleh jadi, karena syaratnya seperti di atas, itulah yang membuat profesi ini agak langka. Sebagian besar orang yang menekuni profesi ini mengaku terperosok dan tidak ada pilihan lain di tengah sulitnya mencari pekerjaan.
Simak saja pengakuan Daniel yang ditemui TRUST saat sedang merawat mayat yang baru tiba. �Saya terpaksa waktu itu. Di tengah susahnya mencari pekerjaan, saya coba melamar ke sini [rumah duka St. Carolus] dan ternyata diterima,� ujarnya. Mulanya ia sempat ragu untuk meneruskan pekerjaan ini. Namun, setelah berpikir dan merenung, akhirnya Daniel bisa menerima. Kini, setelah lima tahun berselang, ia sudah mahir merawat dan merias mayat dengan apik dan resik, baik mayat pria maupun wanita.

Dari profesi ini, Daniel mengantongi gaji Rp 750 ribu per bulan. Ini belum termasuk tip dari keluarga yang berduka yang jumlahnya cukup bervariasi, minimal Rp 100 ribu. Dengan penghasilan ini, Daniel mengaku mampu menghidupi keluarga kecilnya, istri dan dua orang anak. �Pokoknya, dicukup-cukupin, Mas,� ujarnya sambil tersenyum.
Kisah kecantol jadi perias mayat yang dialami Lena lain lagi. Pada 1984, ia diutus ke Lampung untuk melakukan pelayanan kerohanian dari Gereja St. Yosep di Mangga Besar, Jakarta. Di sana, ia sempat bertemu dan akrab dengan seorang perempuan cantik, primadona di kampungnya. Pertemuan itu hanya sesaat saja.

Singkat cerita, perempuan cantik itu kemudian menetap di Jakarta. Namun, malang tak dapat ditolak, ia menderita kanker leher rahim stadium lanjut hingga akhirnya meninggal dunia. �Saya merasa bertanggung jawab untuk merawat mayatnya,� tutur Lena.

Dari situlah ia mulai mengenal dan tertarik menggeluti profesi ini. Sampai-sampai, di kalangan perias mayat rumah duka Atmajaya, ia dikenal sebagai Lena Mayat. Pasalnya, pada ID badge Yayasan Naga Sakti, pengelola rumah duka Atmajaya, tertulis Lena M. Nah, huruf �M� inilah yang kerap dipelesetkan sebagai singkatan dari kata �mayat�. Kini, Lena harus merawat 5-10 mayat setiap bulan. Soal penghasilan, ia hanya menyebut kisaran antara Rp 1,5 juta dan Rp 2 juta per bulan, belum termasuk tip minimal Rp 100 ribu.

Pendapatan yang diperoleh Daniel dan Lena sebagai perias mayat tersebut memang bagian dari biaya prosesi pemakaman yang digelar rumah duka tempat mereka bekerja. Kisaran biaya prosesi tersebut sangat relatif. Sebab, kata Rantje dari rumah duka St. Carolus, hal itu berkaitan dengan harga peti mati yang berkisar antara Rp 1 juta dan Rp 25 juta. Khusus untuk keluarga yang tidak mampu, St. Carolus membebaskan segala macam biaya termasuk penyediaan peti jenazah.

Sementara itu, rumah duka Atmajaya memasang tarif sedikit lebih mahal. Konon, pelanggannya adalah orang-orang yang berkantong tebal, khususnya yang beragama Hindu dan Nasrani. Tak heran jika harga petinya berkisar antara Rp 10 juta dan ratusan juta rupiah. Harga ini sudah meliputi peti, perawatan mayat, sewa tempat, dan dekorasi ruangan.

ORANG ASING LEBIH RUMIT
Bagaimana mengurus mayat orang asing? Baik Daniel maupun Lena sepakat bahwa prosesnya lebih rumit. Dimulai dari persiapan peti mati khusus yang harganya minimal Rp 9 juta, pengurusan dokumen, mengurus mayat, hingga mengantarkannya sampai ke negeri asal. Pengiriman mayat harus dilengkapi dokumen keimigrasian dan segel dari Bea dan Cukai.

Karena prosesnya yang rumit, sedikit sekali orang berpengalaman yang mengurus jenazah orang asing. Mungkin hanya Josaphat R. Ranuadmadja (Yosef) yang mampu melaksanakannya. Ia, yang kini berusia sekitar 70 tahun, menekuni pekerjaan tersebut sejak 1983 di Balikpapan, Kalimantan Timur, lewat Yayasan Kasimo. Orang asing yang menggunakan jasanya merupakan karyawan perusahaan modal asing dan lokal di situ.

Kasus Busang pada medio 1990-an meninggalkan kesan mendalam bagi Yosef. Ialah yang mengurus jenazah Antonio de Guzman, geolog penemu �cadangan emas� terbesar di dunia. Konon, de Guzman tewas bunuh diri meloncat dari helikopter ketika skandal terbuka. Mayatnya sudah rusak ketika ditemukan sepuluh hari kemudian. Pihak kepolisian kesulitan membersihkannya. Akhirnya, �Saya masukkan empat liter cairan Baygon lewat anus, dipompa dengan kompresor untuk mengusir belatung,� ujar Yosef. Ia ikut dalam proses evakuasi jenazah dari pedalaman Kalimantan Timur hingga mengantar ke Manila.

Begitulah liku-liku profesi perias mayat. Kehadirannya sangat bermakna ketika semua orang tengah berduka. Ia membereskan semuanya, membuat yang meninggal tampak cantik atau gagah, sehingga yang ditinggal tidak begitu bersedih.

www.majalahtrust.com/bisnis/profesi/